cerita rakyat
Muka-ku
memerah, sedang marah besar. Rasanya kepala-ku mau pecah saat ini juga.
“Grrrrhhhh!!!! Aku benci padamu, Morin!”, gumam-ku dalam hati.
Tiba-tiba Sylvia, kakak-ku, datang. “Ada apa, Venda? Kamu kayaknya lagi
marah, deh! Coba cerita sama kakak ada apa….”, bujuk Kak Sylvia. “Ah,
kakak nggak perlu tahu! Ini masalahku sendiri,”, kataku dengan senyum di
bibir. Padahal, saat itu aku masih ada rasa benci dengan Morin.
cerita rakyat
“Ayolah,
Venda…. Kamu dulu sudah pernah bilang sendiri, kan? Di keluarga kita
ini nggak ada lagi yang namanya rahasia-rahasiaan. Kita harus saling
terbuka satu sama lain,”, kata Kak Sylvia. “Maafkan Venda, ya, Kak…
Dulu, memang Venda pernah berkata seperti itu. Namun sekarang aturan itu
sudah hilang. Venda maaf… banget.”, kataku merahasiakan.
cerita rakyat
Kak
Sylvia duduk disampingku, duduk diatas kasur. “Venda, Kakak janji, kok,
nggak akan ada yang tahu tentang ini. Dan Venda tenang saja, karena
Kakak nggak akan bocorin rahasia ini ke siapapun.”, kata Kak Sylvia.
“Kakak janji?”, Kak Sylvia mengangguk. “Nggak akan beritahu ke siapapun
termasuk ke Mama Papa?”, tanyaku. “Ok, rahasiamu aman ditanganku,”, kata
Kak Sylvia.
Aku mengangguk mantap. Sebenarnya… aku tidak mau
memberitahukan ke siapapun tentang ini. Tapi… aku sendiri sudah
mengatakan bahwa di keluarga ini tidak ada lagi rahasia-rahasiaan. “Ok,
Kak… Kakak janji, ya, jangan bilangin ke siapa-siapa.”, kataku. “Iya,
bukannya kamu sudah bilang tadi?”, tanya Kak Sylvia.
“Cerita ini
sangat mengharukan. Tadi, waktu aku istirahat di sekolah, aku
menghampiri Morin, Aminah, Hanni, dan Henna. Saat itu Morin bertanya
padaku; “Ibumu namanya Bu Syalabiyyah, kan?”. Lalu aku menjawab; “Kalau
iya, memang kenapa?”. Tapi dia malah mengejek; “Syalabiyyah, kalau
ditengah-tengah huruf a dan b ditambah huruf h jadi apa? Terus, huruf y
itu dibuang. Jadi apa coba?”. Aku menjawab; “Salahbiyyah?”. Dia malah
tambah mengejek; “Coba kata ‘biyyah’ nya kamu hapus.”. Aku lalu berseru
marah; “Apa?! Kamu mengejek Mama-ku, ya?!”. Aku lalu pergi ke kantor,
dan melaporkan kronologis itu pada Bu Ririn, begitu,”, uraiku sedih.
“Lalu,
apa yang dikatakan Bu Ririn pada anak-anak nakal, itu?”, tanya Kak
Sylvia, matanya memerah, seraya menahan tangis. “Anak-anak! Kalian harus
meminta maaf pada Venda. Dia kan, kasihan. Masa orangtuanya kalian
ejek. Kalian harus tahu, mengejek orangtua teman itu sama saja mengejek
orang tua sendiri.”, jelasku.
“Lalu?”, tanya Kak Sylvia. “Lalu
mereka saling tunjuk, dan aku memberi tahu pada Bu Ririn, bahwa hanya
Morin yang mengejek. Morin tertunduk, lalu meminta maaf.”, jelasku.
“Apakah kamu memaafkan Morin? Aku ingin tahu jawabmu,”, ujar Kak Sylvia.
“Tidak akan!”, seruku.
cerita rakyat
Keesokan harinya….
Saat istirahat
tiba, aku tidak menghampiri teman baikku yang kini telah berubah, Morin.
Namun, aku masih memiliki teman baik yang banyak. Dulu sih… Morin akrab
sekali denganku. Atau bisa dibilang Morin dan aku adalah best friend
atau nama lainnya sahabat sejati. Namun kini tidak lagi. Sekarang dia,
best friend-ku itu telah menjadi bad friend, atau teman buruk. Ya… tidak
sampai bad friend-lah. Paling hanya sebatas benci. Meski aku tahu dia
hanya bercanda, tapi bercandanya itu sudah jauh diluar batas.
Aku
menghampiri Ghiani dan Putri. “Ghiani, Putri, kita main, yuk!”, ajakku.
“Aduh… sayang sekali, Venda. Padahal kami mau mengajak Morin bermain.”,
kata Ghiani. “Jangan cemas Ghiani… kita bisa mengajak Venda bermain
bersama dengan Morin bukan?”, kata Putri.
“Apa? Morin?! Aku bilang
pada kalian ya…. Teman baikku itu….” “Sttt…. diam dulu, dia akan datang
kesini. Lihat saja!”, sahut Ghiani. “Venda, kita main, yuk!”, ajak
Morin sambil menggandeng tanganku. “Sorry banget, Rin, aku mau…”, aku
tak bisa melanjutkan kata-kataku.
“Aku kan sudah minta maaf sama
kamu dengan kejadian kemarin. Kamu nggak memaafkan aku, ya?”, Morin
menaikkan alisnya. “B-bukan begitu, Morin, aku hanya… Aku juga minta
maaf, selama ini kita sudah menjadi best friend, tapi kini tidak lagi…”,
kataku.
“Apa? K-kamu tidak memaafkan aku? Kita memang sudah
menjadi best friend sedari dulu, Venda. Aku kan sudah minta maaf. Tapi
apakah kamu tidak mau memaafkan aku? Teman baikmu sendiri. Dan sekarang
kamu sudah menganggapku sebagai bad friend? Begitu?”, ujar Morin dengan
marah. Astaga! Aku tak menyangka kalau Morin tahu apa yang ada di
pikiranku.
“Tidak sampai bad friend, Morin…”, kataku. “Lalu? Apa
maksudmu melakukan semua ini?”, tanya Morin. “Aku sangat minta maaf
Morin. Meski aku tahu kamu hanya bercanda, tapi bercanda-mu sudah diluar
batas. Dan itu tidak baik,”, kataku, lalu pergi meninggalkan mereka
bertiga.
cerita rakyat
Morin berusaha mengejarku. “Maafkan aku Venda… Maafkan
aku… Aku sungguh minta maaf padamu. Semua ini hanyalah bercanda. Maafkan
aku kalau semua ini aku salah. Tapi jangan membenciku, Venda… Aku juga
tidak akan membencimu. Tapi aku mohon padamu untuk memaafkan aku. Semoga
nasi belum menjadi bubur. Sungguh, aku minta maaf, Venda…”, mata Morin
memerah, seperti menahan tangis.
“Ok, aku akan maafkan kamu, tapi
kamu harus berjanji tidak akan mengejek seperti itu lagi.”, Morin
mengangguk, matanya kini berbinar-binar. “Seorang ibu adalah pahlawan
terbesar untuk kita. Meski pahlawan RI memiliki jasa yang besar, tapi
ibu-lah yang memiliki jasa paling besar.”, kataku. “Jadi… kamu memaafkan
aku? Terima kasih banget, ya, Ven! Soalnya dosa mengejek orang tua itu
sangatlah besar. Dan aku juga tahu, kalau arti dari Syalabiyyah itu
adalah cantik, sama seperti ibumu. Ibumu juga cantik.”, puji Morin.
Akhirnya, aku dan Morin saling berpelukan. Dan mulai saat itu, kami menjadi teman baik lagi.
cerita rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar